TRADISI KLIWONAN DI BATANG
A. Pelaksanaan Tradisi Kliwonan
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang heterogen, demikian halnya dengan kebudayaan atau tradisi yang dimilikinya. Banyak ritual dan tradisi yang merupakan warisan dari nenek moyang yang masih tetap dilestarikan sampai sekarang.
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang heterogen, demikian halnya dengan kebudayaan atau tradisi yang dimilikinya. Banyak ritual dan tradisi yang merupakan warisan dari nenek moyang yang masih tetap dilestarikan sampai sekarang.
Salah satu ritual yang masih banyak dilakukan masyarakat Jawa, khususnya bagi mereka yang beragama Islam adalah tradisi kliwonan. Tradisi tersebut mencakup hari Kamis wage, malam Jumat kliwon, serta hari Jumat kliwon itu sendiri. Pada hari Kamis wage (sore), banyak digunakan orang untuk berziarah ke makam anggota keluarga atau leluhurnya untuk nyekar (menabur bunga di makam) dan membaca doa.
Sedangkan pada malam harinya (malam Jumat kliwon), kalangan tetua mengadakan acara nyepi baik dilakukan di rumah kediaman atau ke tempat-tempat yang dianggap keramat, bertuah, hening, dan mengandung kekuatan gaib. Menurut R. Soerjanto Sastroatmodjo dalam majalah Kompak (2001:14), baik acara nyekar dan nyepi merupakan acara ritual bagi kalangan masyarakat Jawa yang masih memegang tradisi, serta mempunyai makna tersendiri. Tradisi Jumat kliwon atau kliwonan di Batang yang terjadi setiap 35 hari sekali atau selapan dina menurut perhitungan Jawa, bagi masyarakat Batang mempunyai makna yang berbeda dengan ritual Jumat kliwon pada umumnya. Di Batang malam Jumat kliwon justru digunakan sebagai malam yang spesial bagi para pedagang untuk menggelar barang dagangannya di areal alun-alun dengan harga “miring”, sehingga tidak heran apabila Jumat kliwon atau yang dikenal dengan istilah kliwonan menjadi agenda wajib yang harus dikunjungi.
Menurut bapak Basuki Soenarjo yang merupakan mantan pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten Batang, kliwonan merupakan tradisi yang telah berjalan lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Pada awalnya tradisi kliwonan lebih berupa ritual ngluar kaul yang dilakukan seseorang, yakni suatu janji tertentu apabila seseorang bebas dari marabahaya, penyakit ataupun tercapainya suatu cita-cita seseorang. Ritual tersebut dilakukan di alun-alun dengan cara membuang pakaian bekas yang masih pantas pakai disertai uang logam sejumlah tertentu, membuat jadah pasar (sesaji dari aneka makanan yang dibeli dari pasar) untuk diberikan kepada pengunjung, yang kemudian diteruskan dengan acara berguling-guling di alun-alun, serta diakhiri dengan membasuh muka di masjid Jami’ (masjid di sebelah barat alun-alun).
1. Gambaran Pedagang di Kliwonan
Pedagang yang berada di pasar kliwonan merupakan salah satu subjek dalam penelitian ini. Para pedagang yang berjualan di pasar kliwonan setiap bulannya relatif tetap karena mereka sudah mempunyai tempat tetap untuk berjualan, khususnya para pedagang yang tergolong besar.
2. Pola-Pola Sosial yang Timbul Akibat Tradisi Kliwonan
Ada beberapa jenis interaksi sosial yang terjadi pada saat kliwonan, antara lain interaksi antara pengunjung dengan pedagang, interaksi antara pengunjung dengan pengunjung, dan interaksi antar pedagang itu sendiri. Ketiga bentuk interaksi tersebut telah mencakup interaksi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok.
3. Masalah-Masalah Sosial yang Timbul Akibat Tradisi Kliwonan
Kliwonan menimbulkan dampak negatif khususnya terhadap kebersihan lingkungan di sekitar alun-alun yang merupakan tempat diselenggarakannya acara kliwonan. Tradisi kliwonan merupakan kegiatan yang menyerupai pasar malam atau pasar tiban, dimana banyak terdapat penjual yang menjajakan beraneka ragam mulai dari makanan sampai barang-barang keperluan rumah tangga. Dan seperti gambaran pasar pada umumnya, keadaannya tidak akan jauh dari sampah yang berserakan dimana-mana dan tentu saja akan mengakibatkan lingkungan sekitar menjadi kotor.
Selain dampak terhadap kebersihan, pasar kliwonan juga berdampak terhadap kelancaran arus lalu lintas. Hal tersebut disebabkan karena letak alun-alun yang merupakan tempat diselenggarakannya kegiatan kliwonan tepat di tepi jalan raya pantura.
Banyaknya para pedagang yang menjajakan barang dagangannya sampai ke tepi jalan raya, serta para pengunjung yang hilir mudik menyebrang jalan semakin menambah arus lalu lintas menjadi semakin terhambat.
B. Tradisi Kliwonan
Menurut Selo Soemardjan dalam Soerjono Soekanto (2002:305) perubahan sosial budaya merupakan segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok masyarakat.
Masyarakat yang kebudayaannya diwarnai oleh tradisionalisme, apabila harus memecahkan suatu masalah didalam hidupnya maka dia akan cenderung berorientasi pada masa lampau. Tradisi menjadi pedoman untuk mengatur tata hidupnya didalam keluarga, masyarakat, dalam hubungannya dengan pemerintah, dan dalam hubungannya dengan pemerintah serta dalam hubungannya dengan orang-orang lain dari luar masyarakatnya. Dengan berpegang pada tradisi maka masyarakat dapat mengatur kehidupannya dengan mantap dan kuat sehingga kehidupan itu menjadi stabil. Tradisi tersebut akan menjadi bertambah kuat karena masyarakat percaya mengandung restu dari para leluhurnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Oleh karena itu tradisi sukar sekali untuk diubah atau diganti dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain. Akan tetapi, pada kenyataannya ada unsurunsur tradisi yang tidak dapat dipertahankan apabila masyarakat hendak membangun ekonominya sesuai dengan dalil-dalil ekonomi modern.
Tradisi Jumat kliwon atau kliwonan dilaksanakan setiap 35 hari sekali atau selapan dina menurut perhitungan Jawa bagi masyarakat Batang memiliki makna yang berbeda dengan ritual Jumat kliwon pada umumnya karena digunakan sebagai malam yang spesial bagi para pedagang untuk menggelar barang dagangannya di alun-alun Kota Batang dengan harga yang lebih murah. Uniknya, ratusan pedagang tersebut sebagian besar justru berasal dari luar Batang seperti dari daerah Tegal, Pemalang, Cirebon, Semarang, Bandungan, Solo, dan masih banyak lagi. Pada mulanya penyelenggaraan kliwonan berjalan secara tradisional akan tetapi dengan semakin banyaknya jumlah pedagang serta pengunjung yang datang maka dibutuhkan campur tangan Pemerintah Kabupatenuntuk mengelola dan mengatur penyelenggaraan kliwonan.
Tradisi kliwonan mengalami perubahan baik dari segi fungsi maupun bentuknya seiring dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Tradisi kliwonan yang pada mulanya merupakan sebuah upacara tradisional yang sarat akan nuansa spiritual kini telah berubah fungsi menjadi sebuah kegiatan yang lebih bersifat rasional dan material. Kliwonan sekarang identik dengan sebuah pasar malam atau pasar murah.
Tradisi kliwonan di Kabupaten Batang merupakan salah satu contoh bentuk tradisi yang masih berkembang di masyarakat. Dalam pelaksanaannya, kliwonan sangat terkait dengan budaya yang berlaku di Kabupaten Batang karena kliwonan yang terjadi sekarang ini merupakan hasil pergeseran fungsi utama dari tradisi kliwonan. Pada awalnya tradisi ini lebih menitik beratkan pada unsur religi yang berlaku di masyarakat. Sedangkan pada perkembangannya pelaksanaan tradisi ini lebih menitik beratkan pada unsure ekonomi yang dijadikan sumber mata pencaharian bagi masyarakat. Dan perubahan tersebut berpengaruh terhadap beberapa aspek sosial dan ekonomi serta fenomena-fenomena sosial yang ada di dalamnya.
Sedangkan pada malam harinya (malam Jumat kliwon), kalangan tetua mengadakan acara nyepi baik dilakukan di rumah kediaman atau ke tempat-tempat yang dianggap keramat, bertuah, hening, dan mengandung kekuatan gaib. Menurut R. Soerjanto Sastroatmodjo dalam majalah Kompak (2001:14), baik acara nyekar dan nyepi merupakan acara ritual bagi kalangan masyarakat Jawa yang masih memegang tradisi, serta mempunyai makna tersendiri. Tradisi Jumat kliwon atau kliwonan di Batang yang terjadi setiap 35 hari sekali atau selapan dina menurut perhitungan Jawa, bagi masyarakat Batang mempunyai makna yang berbeda dengan ritual Jumat kliwon pada umumnya. Di Batang malam Jumat kliwon justru digunakan sebagai malam yang spesial bagi para pedagang untuk menggelar barang dagangannya di areal alun-alun dengan harga “miring”, sehingga tidak heran apabila Jumat kliwon atau yang dikenal dengan istilah kliwonan menjadi agenda wajib yang harus dikunjungi.
Menurut bapak Basuki Soenarjo yang merupakan mantan pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten Batang, kliwonan merupakan tradisi yang telah berjalan lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Pada awalnya tradisi kliwonan lebih berupa ritual ngluar kaul yang dilakukan seseorang, yakni suatu janji tertentu apabila seseorang bebas dari marabahaya, penyakit ataupun tercapainya suatu cita-cita seseorang. Ritual tersebut dilakukan di alun-alun dengan cara membuang pakaian bekas yang masih pantas pakai disertai uang logam sejumlah tertentu, membuat jadah pasar (sesaji dari aneka makanan yang dibeli dari pasar) untuk diberikan kepada pengunjung, yang kemudian diteruskan dengan acara berguling-guling di alun-alun, serta diakhiri dengan membasuh muka di masjid Jami’ (masjid di sebelah barat alun-alun).
1. Gambaran Pedagang di Kliwonan
Pedagang yang berada di pasar kliwonan merupakan salah satu subjek dalam penelitian ini. Para pedagang yang berjualan di pasar kliwonan setiap bulannya relatif tetap karena mereka sudah mempunyai tempat tetap untuk berjualan, khususnya para pedagang yang tergolong besar.
2. Pola-Pola Sosial yang Timbul Akibat Tradisi Kliwonan
Ada beberapa jenis interaksi sosial yang terjadi pada saat kliwonan, antara lain interaksi antara pengunjung dengan pedagang, interaksi antara pengunjung dengan pengunjung, dan interaksi antar pedagang itu sendiri. Ketiga bentuk interaksi tersebut telah mencakup interaksi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok.
3. Masalah-Masalah Sosial yang Timbul Akibat Tradisi Kliwonan
Kliwonan menimbulkan dampak negatif khususnya terhadap kebersihan lingkungan di sekitar alun-alun yang merupakan tempat diselenggarakannya acara kliwonan. Tradisi kliwonan merupakan kegiatan yang menyerupai pasar malam atau pasar tiban, dimana banyak terdapat penjual yang menjajakan beraneka ragam mulai dari makanan sampai barang-barang keperluan rumah tangga. Dan seperti gambaran pasar pada umumnya, keadaannya tidak akan jauh dari sampah yang berserakan dimana-mana dan tentu saja akan mengakibatkan lingkungan sekitar menjadi kotor.
Selain dampak terhadap kebersihan, pasar kliwonan juga berdampak terhadap kelancaran arus lalu lintas. Hal tersebut disebabkan karena letak alun-alun yang merupakan tempat diselenggarakannya kegiatan kliwonan tepat di tepi jalan raya pantura.
Banyaknya para pedagang yang menjajakan barang dagangannya sampai ke tepi jalan raya, serta para pengunjung yang hilir mudik menyebrang jalan semakin menambah arus lalu lintas menjadi semakin terhambat.
B. Tradisi Kliwonan
Menurut Selo Soemardjan dalam Soerjono Soekanto (2002:305) perubahan sosial budaya merupakan segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok masyarakat.
Masyarakat yang kebudayaannya diwarnai oleh tradisionalisme, apabila harus memecahkan suatu masalah didalam hidupnya maka dia akan cenderung berorientasi pada masa lampau. Tradisi menjadi pedoman untuk mengatur tata hidupnya didalam keluarga, masyarakat, dalam hubungannya dengan pemerintah, dan dalam hubungannya dengan pemerintah serta dalam hubungannya dengan orang-orang lain dari luar masyarakatnya. Dengan berpegang pada tradisi maka masyarakat dapat mengatur kehidupannya dengan mantap dan kuat sehingga kehidupan itu menjadi stabil. Tradisi tersebut akan menjadi bertambah kuat karena masyarakat percaya mengandung restu dari para leluhurnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Oleh karena itu tradisi sukar sekali untuk diubah atau diganti dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain. Akan tetapi, pada kenyataannya ada unsurunsur tradisi yang tidak dapat dipertahankan apabila masyarakat hendak membangun ekonominya sesuai dengan dalil-dalil ekonomi modern.
Tradisi Jumat kliwon atau kliwonan dilaksanakan setiap 35 hari sekali atau selapan dina menurut perhitungan Jawa bagi masyarakat Batang memiliki makna yang berbeda dengan ritual Jumat kliwon pada umumnya karena digunakan sebagai malam yang spesial bagi para pedagang untuk menggelar barang dagangannya di alun-alun Kota Batang dengan harga yang lebih murah. Uniknya, ratusan pedagang tersebut sebagian besar justru berasal dari luar Batang seperti dari daerah Tegal, Pemalang, Cirebon, Semarang, Bandungan, Solo, dan masih banyak lagi. Pada mulanya penyelenggaraan kliwonan berjalan secara tradisional akan tetapi dengan semakin banyaknya jumlah pedagang serta pengunjung yang datang maka dibutuhkan campur tangan Pemerintah Kabupatenuntuk mengelola dan mengatur penyelenggaraan kliwonan.
Tradisi kliwonan mengalami perubahan baik dari segi fungsi maupun bentuknya seiring dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Tradisi kliwonan yang pada mulanya merupakan sebuah upacara tradisional yang sarat akan nuansa spiritual kini telah berubah fungsi menjadi sebuah kegiatan yang lebih bersifat rasional dan material. Kliwonan sekarang identik dengan sebuah pasar malam atau pasar murah.
Tradisi kliwonan di Kabupaten Batang merupakan salah satu contoh bentuk tradisi yang masih berkembang di masyarakat. Dalam pelaksanaannya, kliwonan sangat terkait dengan budaya yang berlaku di Kabupaten Batang karena kliwonan yang terjadi sekarang ini merupakan hasil pergeseran fungsi utama dari tradisi kliwonan. Pada awalnya tradisi ini lebih menitik beratkan pada unsur religi yang berlaku di masyarakat. Sedangkan pada perkembangannya pelaksanaan tradisi ini lebih menitik beratkan pada unsure ekonomi yang dijadikan sumber mata pencaharian bagi masyarakat. Dan perubahan tersebut berpengaruh terhadap beberapa aspek sosial dan ekonomi serta fenomena-fenomena sosial yang ada di dalamnya.